Referal

Jumat, 20 Maret 2009

TEBANG BAMBU DAN PENDIDIKAN

Tebang pilih berbeda dengan tebang bambu. Pernyataan seorang pejabat yang bermasalah dengan hukum bahwa dirinya korban tebang pilih, mungkin bisa lebih cocok ketimbang tebang bambu. Tebang pilih dapat beralasan konstruktif dan regeneratif. Yang tua dan lamban digeser untuk memunculkan generasi berikutnya. Tidak berarti setiap yang tua diperlakukan demikian, tentu diseleksi dengan pengganti yang lebih muda dan bagus. Tebang bambu bisa bersifat destruktif dan sentimentil. Bambu yang mulus dan lurus justru yang sering menjadi korban. Tidak harus uzur dan rusak, bisa saja masih muda dan energik. Tersisalah pohon bambu yang bengkok yang cocok sebagai buluh diperapian.

Marwan bin Hakam banyak dipandang sebagai aktor inteletual tebang bambu saat kepemimpinan Ustman bin Affan.
Setiap yang lurus tetapi tidak mendukung keinginannya ditebas. Dalam pewayangan, Arya Sangkuni pandai melakukan tebang bambu. Pembangkang Kurawa disudutkan, difitnah untuk kemudian disingkirkan. Putra Pandawa pernah mengalaminya sehingga harus dibuang selama 13 tahun karena dpandang akan merongrong wibawa keponakannya. Marcos dan Saddam Husen konon membuat para bawahannya sami’na wa atho’na. Zaman orde baru juga pernah mengalami hal semacam itu. Cekal merupakan upaya membungkam pembangkangan agar cendana dan pihak yang memanfaatkan tidak ada yang membantah. Semuanya juga berakhir tragis dan menyakitkan karena kedzoliman berujung kehinaan.

Dunia pendidikan jangan sampai diwarnai prilaku seperti itu. UU Sisdiknas 20/2003 tegas menyatakan bahwa dunia ini berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dunia ini disusun oleh pendidik dengan jabatan fungsional, bukan struktural. Tujuannya supaya persaingan tidak sekeras di struktural guna menegakkan nilai-nilai agama dan budaya. Barangkali kalau distrukturalkan efeknya akan berbeda. Dampaknya nilai agama dan budaya dapat terkalahkan oleh kebutuhan jabatan yang diperebutkan. Barangkali Marwan, Sangkuni, Saddam, ataupun Marcos merupakan produk pendidikan yang salah asuhan.

Memiliki banyak profesor, tidak akan menggeser profesor yang telah ada. Semua boleh menjadi profesor, Dr, atau pun pangkat tertinggi lainnya yang kesemuanya tidak saling mengganggu. Hanya saja ketika di lembaga tersebut ada jabatan struktural dan sejenisnya dan membuka kemungkinan kesejahteraan berlebih, maka lirikan ke struktural akan melebihi perhatian ke jalur fungsional. Kepala biro (Karo) Akademik di Perguruan tinggi bisa diduduki oleh kalangan dosen yang memenuhi persyaratan administratif. Namun Karo tersebut tidak serta merta dapat menduduki Pembantu Rektor atau rektor. Demikian halnya dengan Ketua Jurusan, Pembantu Dekan, tidaklah harus selalu naik menjadi Dekan. Bahkan untuk menjadi seorang rektor pun tidak harus merayap dari jabatan lain dibawahnya karena itu semua bukan jabatan karir. Semua pejabat pendidikan tersebut kemudian rela menjadi dosen biasa ketika tugasnya usai.
Di lembaga pendidikan dasar dan menengah, Kepala SD, SMP dan SMA berasal dari guru yang karena memenuhi persyaratan tertentu menjadi kepsek. Hanya saja setelah jadi kepsek, umumnya tidak pernah mengajar lagi. Mereka berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain untuk menjadi kepala sekolah. Paling tidak bertahan sampai pensiun. Tidak sedikit yang terus berjuang untuk bisa ke cadin atau dinas dengan jabatan yang berbeda dan lebih tinggi. Barangkali karena status sosial dan kesempatan lebih sejahtera menjadi terbuka. Mempertahankan posisi kepsek menjadi perjuangan berat karena dibelakang banyak juga guru yang mengincar jabatan itu. Hukum demand-supply menjadi berlaku. Jabatan seperti itu bernilai ekonomis. Mungkin money politics berawal dari hukum ekonomi yang satu ini.

Seorang kepsek menuturkan bahwa jabatannya lebih repot. Setiap hari mengutak-ngatik administrasi sekolah, rapat di cadin, atau di dinas. Bantuan untuk sekolah tidak hanya berbuntut pembuatan pertanggungjawabannya, namun kedatangan wartawan atau LSM perlu diantisipasi. Mereka mengorek keterangan dam kelemahan pengelolaan bantuan. Buntutnya, tidak jauh dari uang transport atau biaya tutup mulut. Menariknya banyak kepsek yang tidak mau surut menjadi guru kembali. Ada tunjangan yang bisa sama dengan gaji dan tunjangan fungsionalnya. Atau karena ilmu untuk mengajar sudah lama dilupakan, dan dunia birokrat sudah melekat dalam dirinya. Murid yang bertanya atau kekritisan lainnya sudah mulai tidak disukai. Bahkan tatkala ada guru yang berani memberikan masukan, DP3 pun dapat terancam buruk.

Tampaknya dalam dunia pendidikan perlu ada pembenahan administrasi. Seorang kepsek tidak harus terus-terusan jadi kepsek karena tugas utamanya adalah mengajar. Demikian juga seorang rektor ataupun dekan mau turun kembali menjadi dosen karena jabatan rektor hanya persinggahan belaka. Mungkin sistemnya terlalu diskriminatif. Di lembaga pendidikan kesejahteraan fungsional yang merangkap struktural melebihi kesejahteraan orang yang bergelut di fungsional. Kondisi ini memunculkan persaingan tidak sehat pada orang-orang yang bukan haknya. Like and dislike merajalela, tebang bambu makin semarak. Bisa-bisa pendidikan mengacak nilai agama dan budaya demi tujuan dan ambisi pribadinya. Pendidikan menjadi dagelan yang pantas jadi tontonan, bukan tuntunan. Pendidik terlecehkan oleh oknum yang terlanjur menjadi public figur. Mungkin saja keserakahan ditiru anak didik dalam bentuk lain.
Pasal 40 (1a) UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidik berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Guru dan dosen tidak boleh pecah konsentrasinya karena ada jabatan struktural yang lebih gemerlap. Perlu ditindak lanjuti dengan aturan operasional yang mengatur jabatan struktural dan fungsional yang dilakukan tenaga fungsional. Bila tidak diatur secara egaliter keduanya, bisa saja guru dan dosen menjadi jabatan antara untuk mengejar jabatan lain yang lebih sejahtera. Dampaknya banyak dosen dan guru jarang ke kelas gratisan, namun mengejar tambahan lain atau berada di kelas yang memberikan dana berlebih. Peningkatan mutu akademis melalui studi lanjutan digunakan untuk berebutan pada jabatan non akademis. Profesi sebagai tenaga fungsional pun akan mengalami lumpuh layu.
Pendidik tidak lagi mendidik. Infotainment yang mengemas rumor dan gosip terhadap pihak yang tidak disukai mungkin akan menjadi warna terang yang menyilaukan. Kewajiban pendidik mulai dilupakan, khususnya aspek keteladanan. Kawan-lawan kemudian diciptakan dan dikembangkan. Keburukan kawan dibungkusnya dengan keustadzan tanpa ada perbaikannya. Sebaliknya yang dianggap lawan keburukannya dikupas tuntas tanpa ada keseimbangan berita kebaikannya. Celakanya kalau tindakan seperti itu disutradarai oleh pejabat struktural di lembaga pendidikan, maka lembaga tersebut sudah lagi tidak sehat. Yang lurus akan segera habis ditebangi dan yang bengkok dan berkawan akan tetap dipertahankan. Kehancuran dunia pendidikan pun sudah menganga di depan mata.

Buntutnya, kelakuan anak didik dapat melebihi gurunya. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tawuran, kriminalitas yang diaktori anak didik sampai level dibawah umur pun mulai menghiasi banyak berita. Mungkin perlu ada kesadaran bagi pendidik akan profesinya. Pejabatnya perlu mengubah pola untuk tidak berpolitik praktis dalam kehidupan pendidikan sehingga tidak menyisakan bambu yang bengkok. Barangkali perlu merawat bambu lurus untuk memperbaiki keadaan. Tebang bambu jangan sampai terjadi di lembaga pendidikan karena hanya akan memperkeruh dunia yang seharusnya suci, bersih dan menanamkan nilai –nilai moral dan peradaban yang luhur.

Bambu yang lurus memang memiliki nilai guna yang tinggi untuk ditebang sementara yang bengkok mungkin hanya cocok untuk buluh tungku dan berguna untuk menanak nasi dan siduru isuk. Bila tebang bambu berjalan di dunia pendidikan, bisa saja muncul figure Arya Sangkuni, Marwan bin Hakam, atau tokoh otoriter lainnya sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai. Kita menginginkan kehidupan mendatang lebih baik dengan berkembangnya semangat silih asah, asih dan asuh. Bila tidak, bisa dibayangkan bagaimana generasi mendatang bangsa ini. Semoga tidak terjadi apalagi berkembang !!!

Oleh Asep Sumaryana

0 komentar:

 

Home|Design WWW.Nyahoo.com